Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.
Korea Utara Pasca-Perang: Konsolidasi Kekuasaan dan Lahirnya Dinasti “Kim”
Kamis, 20 Februari 2025 10:33 WIB
Setelah Perang Korea, Kim Il-sung menyingkirkan rivalnya, membangun kultus pribadi, dan menciptakan Korea Utara yang kita kenal hari ini.
Perang Korea (1950–1953) berakhir tanpa mencapai tujuan awal invasinya. Alih-alih mempersatukan semenanjung di bawah satu pemerintahan yang sah, perang ini justru berakhir dengan perjanjian gencatan senjata, yang berakibat pada kondisi Korea Utara yang porak-poranda. Infrastruktur hancur, jutaan nyawa melayang, dan negara harus memulai kembali dari titik nol.
Kendati demikian, kehancuran ini juga menjadi titik balik bagi kekuasaan Kim Il-sung. Dengan memanfaatkan dukungan penuh dari Uni Soviet dan Tiongkok, ia tidak hanya membangun kembali negaranya, tetapi juga memulai menghapus rival-rival politiknya guna mengukuhkan kekuasaannya sebagai pemimpin absolut di Korea Utara.
Kondisi Pasca-Perang Korea: Rekonstruksi dan Konflik Internal
Setelah perang, Korea Utara menghadapi dilema besar: bagaimana membangun kembali perekonomiannya yang hancur? Dua kubu utama dalam pemerintahan komunis Korea Utara saat itu memiliki pandangan yang berbeda untuk menjawab keresahan ini, yaitu:
- Kelompok Soviet dan Yan’an (연안파): Mengusulkan prioritas industri ringan agar kebutuhan dasar rakyat segera terpenuhi.
- Kelompok Kim Il-sung dan fraksi Gapsan (갑산파): Mengutamakan industri berat dan militer, meniru model pembangunan Stalin di Uni Soviet.
Kim Il-sung akhirnya memilih industri berat sebagai prioritas utama. Kebijakan ini pun segera memicu konflik internal dalam Partai Buruh Korea (조선로동당), yang berpuncak pada Peristiwa Fraksi Agustus 1956 (8월 종파사건)—sebuah upaya kudeta untuk menyingkirkan Kim Il-sung.
Peristiwa Fraksi Agustus: Upaya Kudeta yang Gagal
Pada bulan Agustus 1956, kelompok oposisi dalam partai mencoba menggulingkan Kim Il-sung dengan dalih kekecewaan mereka terhadap kebijakan ekonomi dan gaya kepemimpinannya yang semakin otoriter. Akan tetapi, berkat loyalitas dan kontrol ketat terhadap struktur partai dan militer, Kim Il-sung berhasil menggagalkan upaya tersebut.
Beberapa tokoh oposisi langsung dihukum dengan “tahanan rumah,” tetapi keesokan harinya mereka berhasil melarikan diri ke Uni Soviet dan Tiongkok. Insiden ini membuat hubungan Korea Utara dengan kedua negara penyokong utamanya memburuk, sehingga memaksa Kim Il-sung untuk mencari cara agar negaranya tidak bergantung sepenuhnya pada bantuan asing.
Keadaan ini menjadi cikal-bakal akan munculnya ideologi Juche (주체) sebagai ideologi resmi Korea Utara—konsep kemandirian yang dikembangkan Kim Il-sung untuk menjadikan negaranya lebih independen dari Uni Soviet dan Tiongkok.
Dekade 1960-an: Menuju Penerapan Stalinisme di Korea Utara
Pada awal 1960-an, Kim Il-sung menghapus faksi-faksi terakhir dalam Partai Buruh Korea. Fraksi Gapsan, yang awalnya menjadi sekutunya, juga tidak luput dari pembersihan politik.
Dalam sebuah operasi yang dikenal sebagai “kampanye reorganisasi dokumen” (도서정리사업), mereka disingkirkan satu per satu. Semua ini ditujukan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kekuatan politik yang bisa menandingi Kim Il-sung.
Dengan hilangnya oposisi internal, Korea Utara berkembang menjadi negara dengan kontrol penuh di bawah kepemimpinan Kim Il-sung, mirip dengan model Stalinisme di Uni Soviet.
Pada 1972, perubahan besar juga terjadi:
- Juche resmi menjadi ideologi negara.
- Jabatan Perdana Menteri dihapus, digantikan oleh jabatan Presiden yang dipegang oleh Kim Il-sung.
- Sistem pemerintahan direstrukturisasi untuk semakin memperkuat kekuasaan Kim Il-sung.
Sejak saat itu, kultus individu terhadap Kim Il-sung semakin ekstrem, bahkan melebihi kultus Stalin di Uni Soviet atau Kaisar Jepang di era Perang Dunia II.
Dari Kediktatoran Menuju Dinasti Politik: Munculnya Kim Jong-il sebagai Pewaris
Langkah berikutnya yang diambil Kim Il-sung adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara komunis mana pun: mempersiapkan suksesi kekuasaan dalam lingkup keluarganya sendiri.
Pada Kongres Partai Buruh Korea tahun 1974, Kim Jong-il—putra Kim Il-sung—diumumkan sebagai penerus resmi dirinya. Keputusan ini mengubah Korea Utara dari negara komunis otoriter menjadi monarki totaliter berbasis ideologi Juche.
Untuk mendukung transisi ini, propaganda yang semakin intens digunakan untuk terus mempertahankan citra Kim Il-sung sebagai pemimpin abadi dan tak tergantikan. Teks sejarah direvisi, monumen-monumen besar didirikan, dan sistem pendidikan diubah untuk menciptakan loyalitas mutlak terhadap keluarga Kim.
Ekonomi: Antara Kemandirian dan Ketergantungan
Meskipun secara ideologis Korea Utara menekankan “kemandirian” (Juche), pada kenyataannya, perekonomian di negara ini masih sangat bergantung pada bantuan dari blok sosialis.
- Industri berat menjadi tulang punggung ekonomi.
- Perdagangan dengan negara-negara komunis dilakukan dalam skema barter yang menguntungkan.
- Sistem perekonomian dirancang untuk mempertahankan kontrol penuh negara atas rakyatnya.
Namun, ketika kekuasaan Uni Soviet mulai melemah di akhir 1980-an dan akhirnya runtuh pada tahun 1991, Korea Utara menghadapi krisis ekonomi besar-besaran. Situasi ini membuktikan bahwa “kemandirian” yang dicanangkan Kim Il-sung ternyata hanyalah ilusi belaka.
Kesimpulan: Konsolidasi Kekuasaan Kim Il-sung dan Warisannya
Pasca-Perang Korea, Korea Utara mengalami transformasi besar-besaran:
- Dari negara yang dipimpin oleh berbagai faksi komunis, berubah menjadi negara satu partai yang sepenuhnya dikendalikan Kim Il-sung.
- Dari pemerintahan kolektif ala Soviet, berubah menjadi kediktatoran absolut berbasis kultus individu.
- Dari negara komunis biasa, berkembang menjadi negara dinasti totaliter pertama dalam sejarah dunia.
Dengan penghapusan lawan politik, penerapan ideologi Juche, dan suksesi dinasti ke Kim Jong-il, Kim Il-sung tidak hanya mengamankan kekuasaannya, tetapi juga mewariskan sistem yang masih bertahan hingga hari ini di bawah Kim Jong-un, cucu kandungnya.
Kisah Korea Utara bukan hanya kisah tentang komunisme, melainkan juga kisah bagaimana kekuasaan bisa diwariskan melalui propaganda, represi, dan kontrol mutlak atas negara.
“Sejarah tidak selalu ditulis oleh yang menang, tetapi oleh mereka yang mengendalikan narasi.”
Dan di Korea Utara, narasi itu telah dikendalikan oleh satu keluarga sejak tahun 1948.

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...
2 Pengikut

Teori Hegemoni Gramsci: antara Koersi, Konsensus, dan Kesadaran
Selasa, 19 Agustus 2025 14:15 WIB
Negara Integral dan Perang Posisi dalam Teori Hegemoni Gramsci
Minggu, 17 Agustus 2025 16:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler